Gambar Rubuk Mujayyab (Sine Quadrant) yang tersimpan di Museum Iznik Turki. |
Rubu’ Mujayyab merupakan salah satu instrumen klasik yang dihasilkan dari bidang ilmu falak / astronomi. Instrumen ini dibuat dalam bentuk seperempat lingkaran (Quadrant). Sejauh ini, keberadannya telah membantu dalam perkembangan ilmu astronomi / falak. Sekaligus menjadi sebuah bentuk kemajuan peradaban keilmuan falak pada masanya.
Dalam khazanah ilmu falak sendiri, adanya rubu’ mujayyab sangat membantu dalam memecahkan beberapa masalah astronomi sebagaimana dalam memecahkan masalah trigonometri.Rubu’ mujayyab menjadi instrumen yang bisa secara fungsional memiliki tiga fungsi utama yaitu : alat untuk menghitung, alat ukur, serta tabel astronomi. Sehingga dengan alat ini umat Muslim memanfaatkannya untuk menentukan waktu-waktu, diantaranya adalah waktu shalat.
Rubu’ mujayyab pernah menjadi alat hitung utama pada abad ke-16 M. Meskipun ada astrolabe yang lebih fungsional, namun karena kemudahannya alat ini menjadi alat bantu utama.
Rubu’ mujayyab juga digunakan untuk mengetahui tinggi benda langit dan digunakan umat Muslim untuk menentukan waktu-waktu shalat dan arah kiblat.
Hal menarik adalah rubu’ mujayyab termasuk alat kuno tapi masih banyak digunakan di dunia pendidikan ilmu falak, terutama di pondok pesantren yang ada di Indonesia. Hal ini juga karena sebelum ada kalkulator, rubu’ mujayyab menjadi alat utama untuk mewakili perhitungan dalam astronomi.
Sekilas Sejarah Rubu’ Mujayyab
Rubu’ mujayyab merupakan instrument klasik yang sangat popular pada masanya karena dianggap mempunyai hasil yang akurat. Ia adalah alat hitung astronomi untuk memecahkan permasalahan segitiga bola dalam astronomi. Dalam ensiklopedi hisab rukyat rubu’ secara bahasa diartikan sebagai sepermpat dan secara istilah adalah kuadran (Quadrant), yaitu suatu alat untuk menghitung fungsi goniometris yang sangat berguna untuk memproyeksikan peredaran benda langit pada lingkaran vertical.
Nama Lain Rubu’ Mujayyab
Kata rubu’ mujayyab berasal dari bahasa arab yaitu rubu’ yang artinya seperempat dan mujayyab yang artinya sinus. Dalam khazanah falak klasik, rubu’ mujayyab memiliki banyak nama diantaranya: rubu’ da’iry, dzat ar-rubu’ ar-rub’iyyah, rubu’ al-mujayyab, rubu’ al-muqanthar, rubu’ asy-syakazy, rubu at-tam, rubu’ afaqy, rubu’ zarqalah, rubu’ misthary, rubu’ maqthu’ rubu’ hilaly, dan rubu’ jami’.
Semua jenis ini memiliki fungsi yang sama namun berbeda dalam desain, skala dan tata cara penggunaannya.
Gambar asli Sine Quadrant. |
Dalam catatan sejarah, instrumen klasik ini digunakan untuk menghitung, mengukur, serta mencatat data astronomis. Sebagaimana bentuknya seperempat lingkaran, rubu’ sangat berguna untuk membantu memecahkan perhitungan yang berkaitan dengan segitiga bola dan trigonometri, mengukur sudut langit, mengetahui waktu, menentukan waktu shalat, arah kiblat, posisi matahari di rasi bintang sepanjang tahun.
Jenis ini disebut dengan nama rubu’ Mesir. Dalam pengembangannya kedua tokoh instrumen ini (Ibnu Syatir dan Ibnu Saraj) tercatat pernah melakukan korespondensi.
Menurut Howard R. Turner, terdapat sebuah rubu’ terbuat dari kuningan yang diukir dengan sangat indah di daerah Afrika Utara. Rubu’ ini memiliki kisi-kisi sinus standar untuk melakukan fungsi trigonometri. Kisi-kisi tersebut pada abad pertengahan sebanding dengan penggaris geser yang ada sekarang.
Pada bagian belakang, terdapat sistem penandaan yang menarik yang mungkin tidak lengkap. Lingkaran luar kemungkinan menunjukkan ekuator langit, lingkaran terkecil tidak diberi tanda dan tidak memiliki fungsi yang jelas. Bulan sabit merupakan proyeksi stereografi dari eklipsi (gerhana).
Pada abad ke-16, rubu’ telah menggantikan astrolabe di dunia Muslim kecuali Persia dan India. Ia terus dikembangkan secara umum sampai abad ke-19.
Pada abad ke-19, rubu’ terus berkembang dan menyebar ke penjuru dunia, salah satunya Indonesia. Penyebaran ini berkat para astronom Muslim yang giat melakukan pengamatan-pengamatan.
Rubu’ mujayyab yang berkembang di Indonesia adalah jenis rubu’ yang dikembangkan oleh Ibnu Syatir. Mengenai siapa yang pertama kali memperkenalkan rubu’ ke Indonesia belum ditemukan keterangan yang jelas. Namun diduga berasal dari ulama’ yang dulunya belajar di timur tengah dan ketika kembali ke tanah air membawa berbagai kitab, keilmuan termasuk falak serta instrumenya.
Berdasarkan beberapa literatur, ada sebuah kitab yang diduga menjadi kitab pertama yang membahas tentang rubu’ mujayyab, yaitu kitab “ al-futuhiyyah fi al-a’mal al-hisabiyah” yang dikarang oleh Abdullah Ibn Abd al-Qohhar (Ulama Indonesia) pada 23 Ramadhan 1158 H bertepatan pada 19 Oktober 1745 M (279 tahun yang lalu).
Abdullah Ibn Abd al-Qohhar merupakan ulama Jawa yang bermazhab Syafi’i. Hal ini sebagaimana pada muqaddimah yang menyatakan bahwa ia berasal dari Jawa dan bermazhab Syafi’i.
Rubu’ Mujayyab dari Masa ke Masa
Abad ke-9 - Abad ke-12 M
Rubu’ mujayyab mulai dikreasikan pada abad ke-9 M di kota Baghdad. Tokoh Muhammad bin Musa Al-Khawarizmi (w.232/848) diduga sebagai yang pertama kali menggunakannya. Alat ini dikembangkan oleh kaum muslimin di Mesir pada abad ke-11 atau ke-12.Abad ke-14 M
Ibnu Syatir (w.777 H/1375 M) merupakan salah satu ilmuan yang memberikan sumbangan besar dengan melahirkan berbagai karya mengenai rubu’ mujayyab, meliputi kontruksi serta tata cara penggunaannya. Di samping Ibnu Syatir, ada juga Ibnu Saraj (w.714 H/1314 M) yang tercatat memiliki kontribusi dalam instrumen klasik ini. Ia merancang rubu' yang halus dan unik dibuat dari gading, bukan kuningan atau kayu. Rubu’ ini memiliki dua garis lintang. Bagian dalam, perangkat tanda standar di bagian depan berguna untuk garis lintang Kairo dan bagian luar untuk lintang Damaskus. Pada bagian belakang terdapat kisi-kisi standar yang digunakan untuk memecahkan masalah-masalah geometri secara numeric.Jenis ini disebut dengan nama rubu’ Mesir. Dalam pengembangannya kedua tokoh instrumen ini (Ibnu Syatir dan Ibnu Saraj) tercatat pernah melakukan korespondensi.
Abad pertengahan ke-14
Pada abad ini, tepatnya tahun 1480 para astronom Portugis telah mengatur cara untuk menentukan lintang dengan menggunakan posisi matahari sebagai perpindahan utara dan selatan khatulistiwa dengan musim yang disebut dengan deklinasi.Abad ke-16 M
Menurut Howard R. Turner, terdapat sebuah rubu’ terbuat dari kuningan yang diukir dengan sangat indah di daerah Afrika Utara. Rubu’ ini memiliki kisi-kisi sinus standar untuk melakukan fungsi trigonometri. Kisi-kisi tersebut pada abad pertengahan sebanding dengan penggaris geser yang ada sekarang.
Pada bagian belakang, terdapat sistem penandaan yang menarik yang mungkin tidak lengkap. Lingkaran luar kemungkinan menunjukkan ekuator langit, lingkaran terkecil tidak diberi tanda dan tidak memiliki fungsi yang jelas. Bulan sabit merupakan proyeksi stereografi dari eklipsi (gerhana).
Pada abad ke-16, rubu’ telah menggantikan astrolabe di dunia Muslim kecuali Persia dan India. Ia terus dikembangkan secara umum sampai abad ke-19.
Rubu’ Mujayyab di Indonesia
Pada abad ke-19, rubu’ terus berkembang dan menyebar ke penjuru dunia, salah satunya Indonesia. Penyebaran ini berkat para astronom Muslim yang giat melakukan pengamatan-pengamatan.
Rubu’ mujayyab yang berkembang di Indonesia adalah jenis rubu’ yang dikembangkan oleh Ibnu Syatir. Mengenai siapa yang pertama kali memperkenalkan rubu’ ke Indonesia belum ditemukan keterangan yang jelas. Namun diduga berasal dari ulama’ yang dulunya belajar di timur tengah dan ketika kembali ke tanah air membawa berbagai kitab, keilmuan termasuk falak serta instrumenya.
Berdasarkan beberapa literatur, ada sebuah kitab yang diduga menjadi kitab pertama yang membahas tentang rubu’ mujayyab, yaitu kitab “ al-futuhiyyah fi al-a’mal al-hisabiyah” yang dikarang oleh Abdullah Ibn Abd al-Qohhar (Ulama Indonesia) pada 23 Ramadhan 1158 H bertepatan pada 19 Oktober 1745 M (279 tahun yang lalu).
Abdullah Ibn Abd al-Qohhar merupakan ulama Jawa yang bermazhab Syafi’i. Hal ini sebagaimana pada muqaddimah yang menyatakan bahwa ia berasal dari Jawa dan bermazhab Syafi’i.
Naskah kuno Rubu' Mujayyab yang ada di Indonesia. |
Kitab ini terdiri atas muqaddimah, 20 bab pembahasan, dan khotimah. 20 pembahasan yang ada dalam kitab tersebut yaitu :
- fi ma’rifah akhd al-irtifa’
- fi ma’rifah jaib al-qaus wa ‘aksuhu
- fi ma’rifah al-mail al-awal wa ghoyah al-irtifa’ likulli yaum fardhin
- fi ma’rifah ardhu al-balad bi al-rasyd
- fi ma’rifah bu’du al-quthr
- fi ma’rifah ashl al-mutlak
- fi ma’rifah Nishfu al-fudhlah wa nish al-qaus wa qaus al-lail wa al-nahar
- fi ma’rifah ad-daair wa fadhlu al-dair
- fi ma’rifah Al-irtifa’ wa fadhlu al-dair
- fi ma’rifah Al-dzil al-irtifa’
- fi ma’rifah al-dair baina al-dhuhr wa al-ashr wa al-maghrib
- fi ma’rifah miqdar hasshotay al-syafaq
- fi ma’rifah saah al-masyriq wa al-maghrib
- fi ma’rifah Al-irtifa’ alladzi laa simta lah
- fi ma’rifah Hishoh as-simt wa ta’diluh
- fi ma’rifah As-simt likulli irtifa’
- fi ma’rifah Istikhroj simt al-qiblah
- fi ma’rifah Istikhroh jihah al-arba’ wa al-qiblah
- fi ma’rifah al-matholi’ al-falakiyah wa al-baladiyah wa matholi al-wakt
- fi ma’rifah ma’rifah al-‘amal bi al-kawakib
Konsep Kerja dan Bagian Rubu’ Mujayyab
Konsep kerja rubu’ mujayyab
Konsep yang diterapkan dalam rubu’ mujayyab adalah konsep trigonometri yaitu berdasarkan pada hitungan sexagesimal (hitungan yang berdasar kepada bilangan 6 derajat), di mana sin 90 = cos 0 = 60 dan sin 0 = cos 90 = 0. Namun demikian, konsep ini berbeda dengan apa yang diterapkan dalam kalkulator. Karena kalkulator menerapkan bilangan biasa yaitu 1. Dalam aplikasinya berlaku sin 90 cos 0 = 1 dan sin 0 cos 90 = 0. Sehingga perbandingan trigonometri kalkulator dengan rubu’ mujayyab menjadi 60 : 1. Dengan demikian, nilai yang diperoleh melalui rubu’ harus dibagi dengan 60 agar memperoleh hasil yang sesuai dengan kalkulator.
Komponen Rubu’ Mujayyab
• MarkazMerupakan titik pusat rubu’ mujayyab. Pada markaz ini terdapat sebuah lubang yang berfungsi untuk memasang benang yang disebut khoit.
• Qaus al-Irtifa’
Busur yang mengelilingi rubu’ mujayyab (bagian yang melengkung).Bagian ini diberi skala derajat 0 sampai 90 bermula dari kanan ke kiri. 1 derajat sama dengan 60 derajat. Ketelitian pembacaan skala tersebut sebesar 0,1250. Qaus ini terbagi kedalam 18 kotak yang setiap kotaknya bernilai 5 derajat. Qaus dibagi menjadi 12 buruj, dari awal sampai 30 untuk buruj haml dst. Semua buruj ini terbagi menjadi dua yaitu syimaliyah (utara) dan janubiyah (selatan). Yang termasuk syimaliyah yaitu haml, jauza, tsaur, sarathan, asad, dan sumbulah. Dan yang lain adalah janubiyah.
• Jaib at-Tamam
Adalah garis lurus yang ditarik dari markaz ke awal qaus. Jaib at-tamam dibagi menjadi 60 derajat (sexagesimal). Jaib at-tamam merupakan sinus dari tinggi suatu benda langit yang dilihat.
• As-Sittini
Adalah garis lurus yang ditarik dari markaz ke akhir qaus.as-sittini juga sama dengan jaib at-tamam dibagi menjadi 60 sexagesimal.
• Jaib al-Mankusah
Adalah setiap skala yang ditarik garis lurus dari jaib at-tamam ke qaus irtifa’. Skala jaib tersebut sama besar.
• Jaib al-Mabsuthah
Adalah setiap skala yang ditarik garis lurus dari as-sittini ke arah qaus irtifa’. Skala jaib ini nilainya sama besar.
• Awwal al-Qaus
Bagian busur yang berhimpit dengan sisi jaib at-tamam (permulaan busur).
• Akhir al-Qaus
Bagian busur yang berhimpit dengan sisi as-sittini. Dari awal qaus hingga akhir qaus dibagi dengan skala 0 sd 90 derajat.
• Qaus al-Ashraini
Qaus dua ashar yaitu dua garisan yang biasanya terputus-utus. Garis ini bermula dari awal qaus hingga 42,33 derajat, dinamakan ashar awal (ashar madzab Syafi’i). Satu lagi sampai 26,5 derajat, dinamakan ashar kedua (mazhab Hanafi).
• Dairot al-Mail al-A’dhom
Satu garisan melengkung berbentuk busur ¼ lingkaran yang menggambarkan deklinasi maksimum matahari sebesar 23 derajat 27’.Jaraknya dari markaz sepanjang 24 derajat.Satu ujungnya pada sittini dan atau lagi di jaibu-tamam.
• Qaimatu-Zilli
Dua garisan yang bertitik titik.Salah satunya berawal dari sittini ke qaus itrtifa’ yang dinamakan qaimatu-zilli mabsuth. Satu lagi berawal dari jaib at-tamam qaus irtifa’ yang dinamakan qaimatu-zilli mankus.
• Dairat Tajyib
Busur setengah lingkaran yang dibuat dengan radius ½ kali radius busur utama, yang dimulai dari markaz sehingga akhir qaus dinamakan at-tajyibul awal. Adapun yang bermula dari markaz berakhir pada awal qaus dinamakan at-tajyibul tsani.
• Hadafah
Lubang pengintai yang terdapat dalam rubu’ mujayyab dan posisinya sejajar dengan as-sittini.
• Khoit
Benang yang dipasang pada markaz.
• Syaqul
Bandul yang digunakan sebagai pemberat khoith.
• Muri
Benang yang diikatkan pada khoith yang biasanya mempunyai warna berbeda dengan warna khoith agar mudah dilihat. Muri dipasang sesuai dengan keperluan pemakai dan bisa dipindah-pindah.
Rubu mujayyab yang baik adalah yang ukurannya cukup besar, skalanya lebih teliti dan tepat, lubang pada markaz hanya pas untuk benang saja dan lubang hadafahnya tidak terlalu besar serta persis berimpit dengan sisi jaib. Untuk mengamati objek atau benda langit, hendaknya memakai tiang yg dapat dikunci dan diatur sehingga apabila objek sudah didapat dibidik, posisinya tidak berubah lagi.
Fungsi Rubu’ Mujayyab
Secara umum, rubu’ mujayyab memiliki tiga fungsi utama, yaitu : pertama, sebagai alat hitung artinya rubu’ ini dapat dilepaskan dari statifnya dan diletakkan secara horizontal. Secara konsep matematis, fungsi utama rubu’ mujayyab adalahalat hitung yg dikenal dengan orthogonal grid. Kedua, sebagai alat ukur artinya rubu’ mujayyab mengumpulkan data fisik atau data pengamatan yang dapat diolah lagi dengan menggunakan persamaan tertentu yang seusai dengan kebutuhan pemakai. Dan ketiga, sebagai tabel astronomi artinya dalam rubu’ terdapat beberapa garis yang menunjukkan data-data astronomi, seperti posisi matahari dalam bujur ekliptika (darajat as-syams) dan deklinasi matahari (mail as-syams).
Comments0
Mari bangun diskusi bersama.