Salah satu Observatorium di India. Sumber gambar (muslimheritage.com) |
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Walisongo Semarang mengadakan kuliah umum dengan mengundang dosen dari luar negeri. Acara ini bertempat di ruang Teater Gedung Planetarium dan Observatorium UIN Walisongo Semarang, dengan tema Internasional Guest Lecture “Kontribusi Observasi Langit dalam Pengembangan Astronomi”.
Acara ini dimulai pada pukul 09.00 hingga 12.00 WIB. Diawali dengan pembukaan, menyanyikan lagu Indonesia Raya, sambutan-sambutan, dan acara inti. Antusiasme para tamu undangan membuat acara tersebut berlangsung meriah. Tamu yang hadir berasal dari berbagai latar belakang seperti perwakilan dari dari PWNU Semarang, Kemenag Semarang, Tim Tarjih Muhammadiyah dan tamu undangan lainnya.
Dalam diskusi kali ini, panitia mengundang Bapak Ahmad Ikhtirozun Ni’am sebagai moderator. Acara dibuka oleh Bapak Prof. Ahmad Izzuddin, M.Ag. selaku Wakil Dekan III Fakultas Syaria’ah dan Hukum UIN Walisongo. “Selamat datang kepada tamu undangan yang hadir, Terima kasih kami sampaikan kepada Bapak Dr. Kassim Bahali. Jangan heran bahwa di Perguruan Tinggi kami mahasiswanya sangat antusias menyambut kedatangn Bapak, lihat saja nanti! Saya persilahkan kepada seluruh mahasiswa yang hadir untuk berfoto dengan beliau” ujar Ahmad Izzuddin.
Suasana menjadi haru tatkala tamu undangan spesial datang, beliau adalah Bapak Dr. K.H. Slamet Hambali yang merupakan dosen ahli falak. Banyak karya-karya falak yang telah beliau terbitkan. Serunya lagi, Pak Slamet ini mencoba nalar matematika falaknya kepada audiens dengan menebak hari lahir seseorang, beliau menjawab dengan begitu cepat. Perhitungannya sudah di luar kepala, gemuruh tepuk tangan pun memenuhi ruangan.
“Bapak K.H. Slamet Hambali ini merupakan guru dari guru-guru falak, beliau telah menemani saya sampai menjadi seperti sekarang. Saya tidak akan bisa menjadi seperti ini tanpa beliau, beliau. Beliau terkenal dengan kecepatan dalam perhitungan nalar ilmu falaknya. Walaupun usia beliau tidak muda lagi, nalar falaknya masih sangat kuat, Maasyaa Allah,” ujar Ahmad Izzuddin.
Pada diskusi kali ini, materi disampaikan oleh Dr. Kassim Bahali yang merupakan Ketua Persatuan Falak Syarie Negeri Malaya. Beliau adalah seorang cendekiawan terkemuka dalam bidang Pendidikan Astronomi Islam, Astronomi Cerapan, Inovasi Perkakasan Astronomi. Beliau juga bekerja di berbagai perguruan tinggi, beberapa penghargaan, salah satunya adalah anugerah utama Persatuan Sains Matematik (PERSAMA) 2020 bagi makalah ilmiah terbaik. Ia juga menerbitkan beberapa buku, prosiding, dan juga jurnal serta berkontribusi dalam penulisan majalah.
Kegembiraan terpancar di wajah Dr. Kassim Bahali tatkala MC mempersilahkan beliau untuk menyampaikan materi pada diskusi kali ini. Dengan logat Malaysia, beliau menyampaikan beberapa kata pembuka. Unik ketika mendengar beliau berbicara Bahasa Melayu. Terkadang kita juga terbawa oleh nada bicara beliau.
Dalam pembahasan kali ini, beliau menyampaikan materi terkait “Falak dan Tadabur Alam” yang penting untuk dibahas sebagai kontribusi observasi langit dalam pengembangan astronomi “Tadabbur adalah kita menghayati dan merenung sehingga meresap makna ayat al-Qur’an itu ke dalam hati. Ia pekara yang disuruh oleh agama. Tadabbur berbeza dengan tafsir kerana tafsir menjelaskan maksud yang dikehendaki Allah SWT pada suatu ayat. (Datuk Dr. Zahazan)” Jelas Kassim Bahali mengutip Datuk Dr. Zahazan.
Ayat Al-Qur’an sebagai landasan dari proses menghayati alam semesta ini, sepatutnya kita membaca kembali ayat-ayat tersebut.
Beberapa mahasiswa Ilmu Falak berfoto bersama dengan Dr. Kassim Bahali. |
“Maka apakah mereka tidak mentadabburkan al-Qur’an? Atau hati mereka terkunci.” (Surah Muhammad, ayat 24)
Kitab (Al-Qur'an) yang Kami turunkan kepadamu penuh berkah agar mereka menghayati ayat-ayatnya dan agar orang-orang yang berakal sehat mendapat pelajaran (Sad:38)
Terkait kontribusi observasi langit beliau menyampaikan penelitiannya mengenai fajar. Fajar merupakan saat antara siang dan malam yang seringkali sulit untuk ditentukan dengan pasti karena tidak ada batasan yang jelas antara kedua waktu tersebut. Hal itu juga menyiratkan bahwa saat fajar terbit, sudutnya bervariasi dan tidak dapat diukur dengan tepat, menggambarkan keragaman dan ketidakpastian dalam fenomena alam tersebut.
“Fajar ini kita tidak tahu dimana letak sebenarnya, karena setiap orang mungkin berbeda-beda waktu dalam melihat fajar, ada yang melihat pada jam 04.20 pagi, ada juga yang melihat pada jam 04.25 pagi, tergantung kepada tempat masing-masing. Namun kita dapat melihat dari pancaran cahaya di langit” Jelas Kassim Bahali.
Pada tahun 2011 hingga 2019, Kassim Bahali melakukan studi mengenai waktu fajar di dua lokasi yang berbeda, yakni di daratan dan di dalam pesawat terbang. Penelitian ini dilakukan dengan latar belakang dan motivasi atas perbedaan dalam sudut kedalaman waktu Subuh antara Malaysia dan negara-negara Islam lainnya, yang menjadi sumber permasalahan menarik yang patut untuk diselidiki. Bahali menekankan bahwa pandangan mengenai waktu Subuh di Alam Melayu dengan sudut kedalaman antara -19 dan -20 derajat tidak didukung oleh bukti observasi lapangan.
Kitab (Al-Qur'an) yang Kami turunkan kepadamu penuh berkah agar mereka menghayati ayat-ayatnya dan agar orang-orang yang berakal sehat mendapat pelajaran (Sad:38)
Terkait kontribusi observasi langit beliau menyampaikan penelitiannya mengenai fajar. Fajar merupakan saat antara siang dan malam yang seringkali sulit untuk ditentukan dengan pasti karena tidak ada batasan yang jelas antara kedua waktu tersebut. Hal itu juga menyiratkan bahwa saat fajar terbit, sudutnya bervariasi dan tidak dapat diukur dengan tepat, menggambarkan keragaman dan ketidakpastian dalam fenomena alam tersebut.
“Fajar ini kita tidak tahu dimana letak sebenarnya, karena setiap orang mungkin berbeda-beda waktu dalam melihat fajar, ada yang melihat pada jam 04.20 pagi, ada juga yang melihat pada jam 04.25 pagi, tergantung kepada tempat masing-masing. Namun kita dapat melihat dari pancaran cahaya di langit” Jelas Kassim Bahali.
Pada tahun 2011 hingga 2019, Kassim Bahali melakukan studi mengenai waktu fajar di dua lokasi yang berbeda, yakni di daratan dan di dalam pesawat terbang. Penelitian ini dilakukan dengan latar belakang dan motivasi atas perbedaan dalam sudut kedalaman waktu Subuh antara Malaysia dan negara-negara Islam lainnya, yang menjadi sumber permasalahan menarik yang patut untuk diselidiki. Bahali menekankan bahwa pandangan mengenai waktu Subuh di Alam Melayu dengan sudut kedalaman antara -19 dan -20 derajat tidak didukung oleh bukti observasi lapangan.
Observatorium Maragha yang ada di Iran. Sumber gambar (tehrantimes.com) |
Dalam studi tentang fajar, Kassim Bahali menggunakan perangkat seperti Kamera Digital Single Lens Reflex (DSLR) Canon 60 Da dan Sky Quality Meter (SQM). Kedua perangkat ini telah melewati sejumlah pengujian dan kalibrasi untuk mengukur parameter-parameter seperti luminan dan fase fajar.
Dalam hasil penelitiannya, Kassim Bahali mencatat bahwa waktu Subuh yang dihitung menggunakan sudut kedalaman -20 derajat dan -19 derajat tidak selaras dengan saat fajar sesungguhnya muncul. Setelah dilakukan penelitian lebih lanjut, ditemukan bahwa pada saat fajar sesungguhnya muncul, rata-rata posisi Matahari berada di bawah ufuk timur sebesar -17 derajat setelah dilakukan koreksi.
Pengamatan yang dilakukan di daratan Kassim Bahali melakukan studi tentang waktu Subuh di tiga negara di Asia Tenggara, yaitu Malaysia, Indonesia, dan selatan Thailand. Penelitian ini dilakukan di 20 lokasi di Malaysia, 6 lokasi di Indonesia, dan 1 lokasi di Thailand. Bahali memilih tanggal pengamatan fajar yang minim cahaya bulan, yaitu antara tanggal 1 hingga 13 bulan hijriah. Dalam kesimpulan penelitiannya, Bahali menetapkan waktu Subuh pada sudut kedalaman -17 derajat. Hasil penelitian ini menjadi faktor utama perubahan oleh Kerajaan Malaysia dalam menyesuaikan waktu awal Subuh dari -19 dan -20 derajat menjadi -18 derajat.
Diskusi berjalan dengan meriah tatkala sesi tanya jawab tiba. “Bagaimana memilih kriteria tempat dalam pengamatan fajar yang bapak lakukan, pada tingkat kegelapan seperti apa kita dapat mengamati fajar? Terimakasih” Tanya Daviq Mahasiswa Falak UIN Walisongo.
“Untuk mengamati fajar pastikan tempat itu benar-benar gelap supaya tidak ada pengaruh cahaya, biasanya ada di tempat saat matahari muncul dan tempat dimana kita melakukan pengamatan harus gelap supaya tidak mempengaruhi pengamatan mata kita. Salah satu ciri dimana langit gelap itu saat terlihatnya bintang dan galaksi bima sakti, wallahu a'lam”. Jawab Kassim Bahali.
Seiring perjalanan waktu ilmu pengetahuan semakin berkembang, perbedaan seringkali muncul, namun tak menggoyahkan semangat persatuan, berbeda itu biasa yang tidak biasa itu yang membeda-bedakan. Dengan adanya diskusi pada kuliah umum ini sangat bermanfaat sehingga menambah wawasan kita mengenai fajar.
Dalam hasil penelitiannya, Kassim Bahali mencatat bahwa waktu Subuh yang dihitung menggunakan sudut kedalaman -20 derajat dan -19 derajat tidak selaras dengan saat fajar sesungguhnya muncul. Setelah dilakukan penelitian lebih lanjut, ditemukan bahwa pada saat fajar sesungguhnya muncul, rata-rata posisi Matahari berada di bawah ufuk timur sebesar -17 derajat setelah dilakukan koreksi.
Pengamatan yang dilakukan di daratan Kassim Bahali melakukan studi tentang waktu Subuh di tiga negara di Asia Tenggara, yaitu Malaysia, Indonesia, dan selatan Thailand. Penelitian ini dilakukan di 20 lokasi di Malaysia, 6 lokasi di Indonesia, dan 1 lokasi di Thailand. Bahali memilih tanggal pengamatan fajar yang minim cahaya bulan, yaitu antara tanggal 1 hingga 13 bulan hijriah. Dalam kesimpulan penelitiannya, Bahali menetapkan waktu Subuh pada sudut kedalaman -17 derajat. Hasil penelitian ini menjadi faktor utama perubahan oleh Kerajaan Malaysia dalam menyesuaikan waktu awal Subuh dari -19 dan -20 derajat menjadi -18 derajat.
Diskusi berjalan dengan meriah tatkala sesi tanya jawab tiba. “Bagaimana memilih kriteria tempat dalam pengamatan fajar yang bapak lakukan, pada tingkat kegelapan seperti apa kita dapat mengamati fajar? Terimakasih” Tanya Daviq Mahasiswa Falak UIN Walisongo.
“Untuk mengamati fajar pastikan tempat itu benar-benar gelap supaya tidak ada pengaruh cahaya, biasanya ada di tempat saat matahari muncul dan tempat dimana kita melakukan pengamatan harus gelap supaya tidak mempengaruhi pengamatan mata kita. Salah satu ciri dimana langit gelap itu saat terlihatnya bintang dan galaksi bima sakti, wallahu a'lam”. Jawab Kassim Bahali.
Seiring perjalanan waktu ilmu pengetahuan semakin berkembang, perbedaan seringkali muncul, namun tak menggoyahkan semangat persatuan, berbeda itu biasa yang tidak biasa itu yang membeda-bedakan. Dengan adanya diskusi pada kuliah umum ini sangat bermanfaat sehingga menambah wawasan kita mengenai fajar.
Kontributor
Comments0
Mari bangun diskusi bersama.